Selasa, 19 April 2011

MAYAT

ILUSTRASI
Oleh: Putu Wijaya

“Aku yang mati, kamu yang enak. Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatan saja menangis, meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa, kamu terus hidup ngakak. Kematianku sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih, menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada dan orasi-orasi yang meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keun­ tungan dari orang yang mati!”

Mayat itu mengetuk pintu sebuah media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat secara lengkap cerita dan foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua menghindar, menutupi hidungnya, mengangkat bahu dan menunjuk atasannya. “Tanya Bapak, aku kan hanya menjalankan assignment. ”

Sedang atasannya yang paling atas sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.

Akhirnya sekretaris redaksi, terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menghadapi mayat itu dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara baik-baik.

“Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia untuk meralatnya untuk kebahagiaan dan ketenangan Anda di sana,”

katanya mempersilahkan mayat itu menumpahkan semua sumpah- serapahnya. Mayat itu langsung duduk di depan komputer. Seperti bendungan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya. Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang tidak adil, seluruh ketidak- benaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata yang tajam dan berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka dan kesakitannya. Berjam-jam mayat itu mencurahkan segala tuntutannya. Komputer penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat itu dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit tengik. Moral, susila, tata krama, kepatutan, keluhuran budi apalagi kemanusiaan yang dikibar- kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka, untuk membungkus kebiadaban.

“Semuanya busuk,” erang mayat itu. Ia kemudian lebih banyak mengeram- ngeram seperti kata- kata tak mampu lagi menampung sumpah-serapahnya. Akhirnya ia menggigit kursi sampai cabik-cabik, untuk menahan lonjakan perasaannya yang tertampung oleh layar komputer

Sekretaris panik. Tetapi ketika ia mau lari mengadukan itu kepada atasannya, telepon berbunyi.

“ Biarkan saja, dia memerlukan ventilasi untuk menyalurkan emosinya. Nanti setelah kempes dia kan pergi sendiri. ”

“Tapi kursinya rusak, Pak.

Itu kan baru dibeli. Bagaimana kalau dia menghancurkan komputer. ”

“Biar saja.

Tapi suruh anak-anak siap untuk menjepret. Ini justru bagus untuk publikasi kita !” Sekretaris bengong. Mayat itu berdiri, karena mencabik kursi itu, juga tidak bisa mengurangi tegangan dadanya. Ia lalu menumbukkan kepalanya ke dinding. Sekretaris menutup matanya, lalu lari keluar. Mayat itu membentur dinding begitu kerasnya sehingga foto-foto di dinding berjatuhan. Di antaranya ada gambar garuda. Moncong garuda itu menancap di atas kepalanya. Mayat itu baru menjadi sedikit tenang. Dengan garuda yang masih bertengger di kepalanya, ia kembali ke kursi.

Di situ ia menangis tersedu-sedu. Setelah menangis tersedu-sedu nampaknya sebagian unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati dan otaknya. Ia menoleh kembali ke layar komputer dengan lebih santai. Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah namun damai.

Penjaga kantor yang tua bangka menghampirinya menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa disamber dari perempatan jalan di malam yang selarut itu. Sekaligus mengingatkan bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur. Mayat itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan apa- apa lagi. Seluruhnya mampetan pikirannya sudah tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.

Penjaga kantor itu mengerti. Tetapi sebelum pergi meninggalkan tamu eksklusif yang diwanti-wanti oleh sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa itu, ia sempat mengerling ke atas layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menikmati kepuasan mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam yang sudah lancang itu dengan mata berkilat-kilat.

“Kamu mengerti?”

“Ya, saya mengerti sekali.”

“Kamu bisa merasakan.”

“Kenapa tidak?

Jelas sekali.”

“Apa kamu menganggap semua ini neko-neko ?”

“Tidak. Itu memang benar.”

Mayat itu menjadi amat girang, menemukan untuk pertama kalinya, orang yang mampu memahami segala tuntutannya.

“Jadi kamu percaya sekarang betapa tidak adilnya semua ini ?”

“Saya percaya.”

Mayat itu mengulurkan tangannya. Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan, seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi tangan penjaga malam itu dingin seperti beku.

Mayat itu terkejut.

“Kenapa tanganmu dingin sekali?

Kamu takut ?”

“Tidak.”

“Kamu heran atau kaget karena membaca semua ini ?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa tanganmu lebih dingin dari es ?”

“Ya memang begini keadaannya?”

“Tapi kenapa?”

“Karena inilah hidup saya.”

Mayat itu terkejut. Ia curiga kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi. Paling sedikit mata- mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi ketika ia memandangi mata penjaga itu, ia hampir terpekik. Karena di kedua mata nampak ruang kosong.

“Astaga kamu tidak punya mata lagi?”

“Tidak.”

“Tapi kenapa kamu masih bisa melihat?”

“Saya harus bisa melihat meskipun tidak punya mata.”

“Kenapa?”

“Karena itu kewajiban saya.”

Mayat itu bergidik. Bulu kuduknya meremang.

“Apa lagi kewajiban kamu?”

“Semuanya!”

Mayat itu tercengang.

“Kewajiban? Kewajiban apa?

Kamu ngomong seperti seorang budak ?!”

“Ya memang.”

“Apa? Kamu budak?”

“Betul. Saya budak.”

“Budak apa? Budak siapa?”

“Budak segala- galanya. Saya budak komplit. ”

Mayat itu bingung. Dia berdiri dan memperhatikan penjaga itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu menyentuh, kemudian meraba- raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu. Tiba-tiba ia terpekik ngeri.

“Wow! Badan kamu seperti tak punya tulang.

Daging kamu bonyok !”

“Memang!”

“Bukan cuma itu, aku jadi curiga,

jangan-jangan kamu, maaf boleh aku kobok sekali lagi ?”

“Silakan.”

Mayat itu mendekat, lalu ngobok sekali badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar. Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.

“Ya Tuhan,

kamu kok sepertinya tidak punya hati dan juga tidak punya otak. ”

“Memang begitu.”

“Apa?

Kamu betul- betul tidak punya perasaan dan pikiran ?”

“Betul.”

“Edan!”

“Ya.

Jangankan perasaan dan pikiran. Apa pun saya tidak punya. Lihat kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf ya … .”

Penjaga malam itu membuka seluruh pakaiannya. Mayat itu menggigil. Orang itu memang sudah dikebiri total. Seluruh kema­ luannya, termasuk kedua biji buah ampulurnya sudah dicomot. Ia tak punya segala- galanya.

“Kamu sudah bangkrut sebangkrut- bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa kamu sudah kalah komplit. Apa kamu bukan manusia?” “Saya manusia.”

“Apa kamu sakti?”

“Tidak!”

“Lha kenapa kamu bisa hidup?”

“Ya begitulah.

Saya harus hidup, meskipun tidak punya semua itu lagi. ”

“Tidak mungkin!”

“Memang tidak mungkin, tetapi apa boleh buat, wong ini harus, kok. Ini kewajiban saya. ”

Mayat itu berpikir keras. Lalu menggeleng- gelengkan kepala­ nya.

“Siapa sih sebenarnya kamu?”

“Boleh panggil saya siapa saja, saya tidak pilih-pilih nama.

Terserah orang, suka manggil saya apa saja, silahkan, saya manut-manut saja. ”

“Itu namanya pasrah. Apa kamu orang Jawa ?”

Penjaga malam itu berpikir.

“Nah sekarang kamu berpikir!”

“Bukan begitu.

Saya memang telmi, telat mikir. ” “Coba ceritakan sedikit kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih. Pasti besar sekali karena kewajiban kamu begitu berat. Berapa?”

“Tiga puluh.”

“Tiga puluh juta?”

“Bukan tiga puluh saja.”

“Maksud kamu gaji kamu seperak satu hari ?”

“Ya.”

“Gila!

Bagaimana kamu bisa hidup hanya dengan gaji begitu ?”

“Itu juga dianggap sudah terlalu banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak saya juga harus hidup.”

Mayat itu ternganga. Ia pelan-pelan duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji seperak satu hari dengan tanggungan istri dan 10 anak bisa hidup. Pasti penjaga malam itu korupsi.

“Kamu pasti korupsi?”

“Tidak, Pak. Saya hanya jualan kertas- kertas kantor yang sudah tidak terpakai. ”

“Kalau begitu kamu ngobyek!”

“Terserah, Pak.”

“Kamu korupsi!”

“Apa itu korupsi, Pak?”

“Jelas!”

“Ya sudah.”

Mayat itu termenung. Ia lupa pada masalahnya sendiri dan mulai kagum.

Memang pada orang kecil sering muncul sifat- sifat luhur yang dahsyat.

“Kamu luar biasa,”

gumam mayat itu terpesona.

“Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu ini.”

“Memang saya sudah mati.”

“Ah! Apa?”

“Kata saya, saya sudah mati.”

“Kamu sudah mati.”

“Ya.”

“Jadi kamu ini mayat?”

“Betul sekali.”

“Mayat seperti gua ini?”

“Benar!”

“Wow! Kalau begitu kita sama dong!” teriak mayat itu kegi­ rangan karena merasa mendapat seorang teman secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan. Tetapi sekali ini, penjaga malam itu tak menyambut uluran tangannya.

“Ayo salaman, kita sama! Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain. Sedikitnya kita bisa berbagi kemalangan.

Ayo salaman !”

Penjaga malam itu menggeleng.

“Tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa?

Kamu tidak mau salaman? Ini hanya ekspresi bukan kolusi,

jangan takut, tidak akan dituntut. ”

“Tidak bisa.

Saya tidak bisa salaman.

Jangan keliru. ”

“Keliru bagaimana?”

“Saya bukan mayat seperti situ.”

“Lho tadi kamu bilang kamu mayat?”

“Betul.”

“Tetapi bukan?”

“Betul sekali.

Saya memang mayat, tetapi bukan. ”

“Kenapa bukan?”

“Karena meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan.

Tetapi di kantor ini. ”

“O kalau begitu kamu hantu?”

“Apa saya hantu?”

“Ya kamu hantu kalau begitu!”

“Ya sudah.

Boleh juga saya disebut begitu. ”

Mayat itu berpikir.

“Kamu jangan main- main. Ini bukan waktunya untuk guyonan. ”



“Tidak bisa. Saya tidak bisa salaman.

Jangan keliru. ”

“Keliru bagaimana?”

“Saya bukan mayat seperti situ.”

“Lho tadi kamu bilang kamu mayat?”

“Betul.”

“Tetapi bukan?”

“Betul sekali. Saya memang mayat, tetapi bukan. ”

“Kenapa bukan?”

“Karena meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini. ”

“O kalau begitu kamu hantu?”

“Apa saya hantu?”

“Ya kamu hantu kalau begitu!”

“Ya sudah.

Boleh juga saya disebut begitu. ”

Mayat itu berpikir.

“Kamu jangan main- main. Ini bukan waktunya untuk guyonan. ”

Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap dengan tergo­ poh-gopoh menghampiri.
“Maaf, memanggil saya, perlu sesuatu?”
Mayat itu terkejut. “O tidak, tidak, sudah cukup.
Aku tidak perlu apa-apa lagi !”

Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke tempatnya. Waktu itu mayat itu merasa malu hati. Diliriknya komputer yang penuh dengan tumpahan tuntutannya.

Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan, seperti tidak ada artinya sama sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu kembali kepada komputernya.

Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gera­ kan, ia menyentuh keybord komputer untuk menghapus semua keluh- kesahnya. Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia abadi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar