Selasa, 19 April 2011

Keluarga Makmur

KETIKA Insan dan Ibnu berlarian pulang ke rumah dan berkali-kali meneriakkan bahwa Si Makmur ditabrak sepeda motor, aku kaget bukan kepalang. Namun kekagetanku mendadak diluruhkan oleh kesadaran yang pelan-pelan melahirkan rasa sesal: tidak semua lawakan di rumah-tangga layak diketahui anak-anak.
“Memang susah sekarang,” ujar tetanggaku yang tertimpa musibah itu pada suatu kali, sewaktu bertandang ke rumahku. “Untung sejak tugas di bandara aku rajin menabung. Selain dapat mengambil rumah di sudut, aku sempat pula membeli sawah-ladang serta dua ekor kerbau di kampung. Seratus-lima-puluh emas. Bunga uang yang kudepositokan… itulah yang meringankan bebanku kini….”
Sepeninggal sang tamu aku dan istriku tertawa-tawa mengulangi ceritanya. Dan sejak saat itu, entah dorongan setan mana, aku sering mengolok-olok tetanggaku itu —tentunya tanpa sepengetahuan dia— dengan panggilan Si Makmur.
“Lekaslah Ayah ke tempat Pak Makmur,” kata Ibnu memenggal ketermanguanku.
“Hus… jangan sebut-sebut Pak Makmur lagi. Pak Amran….”
Insan dan Ibnu tercengang.
“Kenapa Ayah jadi sewot?” protes Insan. “Pak erte sudah menunggu Ayah di sana,” lanjutnya. Bergegas aku pun berganti pakaian, kemudian pergi ke rumah di pojok Blok NN itu. Rumah dengan cat merah bata yang lumayan besar, jauh lebih sehat dibanding rumah warga sekelilingnya. Tentang ini Si Makmur pernah berkata: “Aku suka warna yang kebali-balian, begitu. Lagi pula di pojokan, kan, Pak Nel. Cerah. Tersendiri. Ada kelebihan tanah sekitar tiga puluh enam meter. Berapa aku bayar dulu, ya? Kalau aku tak salah ingat 200 ribu per meter….”
***
KUDAPATI Si Makmur sedang menjelepak tersandar di pilar beton teras rumahnya sambil meringis-ringis memegangi paha kaki sebelah kanan. Beberapa orang yang menggerombolinya, tidak diacuhkannya, termasuk aku yang selama ini paling diakrabi dan senantiasa setia mendengarkan segala omongannya.
“Di Sub-Seksi Fiskal di bandara jelas enak, Pak Nel,” sesumbar Si Makmur mengomentari basa-basiku menyangkut keberhasilannya. “Berapalah gaji pegawai negeri golongan dua-de dengan masa kerja 15 tahun. Tidak cukup untuk seminggu. Insentif tunjangan habis untuk membayar cicilan hutang koperasi. Jadi mana mau aku dipindah-pindahkan lagi. Tapi kupikir takkan ada yang berani mengutak-atik apalagi menggeser posisiku. Mak Uniang, mantan sekretaris kabupaten yang kukenalkan tempo hari… ya, pamanku yang ketemu Pak Nel di rumah dulu, telah menduduki jabatan kepala biro kependudukan dan pemerintahan di kantor gubernur….”
Perlahan kudekati Si Makmur. Dia melirik sejenak, lalu kembali meringis sambil memegangi paha kanannya.
“Bagaimana?” tanyaku. “Apa mau diantar ke rumah sakit?”
“Biar nanti saja,” jawab Si Makmur. “Aku tak kuat berjalan. Ini Si Pipo kok lama sekali pulangnya, ya,” gerutunya entah ditujukan kepada siapa.
Ketua RT menyarankan agar Si Makmur segera dibawa masuk ke dalam rumah. Dua orang warga berusaha mengangkat serta memapah Si Makmur yang tetap meringis-ringis kendati sudah tidak hendak membantah lagi.
Si Makmur tertabrak saat mematut-matut rumahnya yang baru selesai ditingkat-duakan. Pengendara sepeda motor yang kurang awas, sewaktu membelok, langsung menghantam tungkai tubuh Si Makmur yang kian tambun.
Akhir-akhir ini, sore-sore, Si Makmur memang sering tampak berkacak pinggang di jalanan kompleks sembari memandangi rumahnya.
“Sudahlah, Pak,” bercanda aku menyapa Si Makmur saat berpapasan di muka rumahnya, petang dua hari yang lalu. “Sudah mantap,” tukukku, senyum dan ikut memandangi rumahnya yang semakin rancak. Tapi senyum dan candaku tidak digubrisnya. Dengan mimik serius dia menepi, dan sambil bersandar di pagar besi pekarangan rumahnya dia bercerita panjang lebar tentang proses renovasi rumah itu. “Jadi istriku yang mendesak agar rumah ini segera ditingkat-duakan. Kalau aku sih ingin membeli tanah yang lebih luas saja, biar leluasa membangun di sana…,” katanya mengakhiri pembicaraan.
Masih bersemangat rupanya Si Makmur, pikirku. Padahal, sepengetahuan orang-orang, warga kompleks perumahan di mana kami bermukim, sudah cukup lama dia memelihara kesenangan menutup diri, dan sangat jarang keluar rumah sepulang dari kantor. Bahkan, dengan berbagai alasan, kegiatan-kegiatan warga di RT kami selalu dia hindari.
Semula, alasan-alasan Si Makmur tentu saja mengundang simpati dan keprihatinan, karena sebelumnya dia termasuk salah seorang pengurus RT yang aktif. Peranannya selaku Ketua Bidang Sosial membuat dia banyak berhubungan sekaligus sangat dihormati warga. Namun lama-kelamaan orang-orang mulai curiga, mengingat tingkah laku Si Makmur yang ada kalanya tidak masuk akal.
“Sekujur badan terasa lemas tak bertenaga,” kata Si Makmur tatkala aku beserta sejumlah pengurus RT dan warga lainnya datang membesuk. “Seakan tiada bertulang….”
“Makan bagaimana?” tanya Ramli.
“Tak bernafsu saja rasanya….”
“Tapi semakin gemuk kami lihat,” celetuk Azamril bernada menggoda. “Kayak bos….”
“Ah, ini gemuk karena penyakit barangkali.”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Pak Amran,” nasihat Ketua RT.
“Nanti benar-benar serius sakitnya,” tukas Azamril. Sekilas, aku menangkap mimik keterkejutan pada air muka Si Makmur.
“Seperti Bapak-bapak lihat, dalam sepuluh hari belakangan aku sudah tidak nyetir sendiri,” elak Si Makmur. “Syukur ada Si Pipo yang mengantarkan….”
“Ha?! Hati-hati, Pak Amran, Si Pipo belum punya SIM, kan?” kata Azamril.
“Itulah. Tapi dasar anak sekarang.” Si Makmur tampak bangga membela diri. “Meski baru kelas dua es-em-pe, Si Pipo telah mahir mengendarai mobil.”
***
DERU Toyota Avanza berhenti di garasi. Pipo maupun Bu Endang, istri Si Makmur, terheran-heran menyaksikan orang-orang yang seolah-olah tengah menantikan kehadiran mereka.
“Ada apa?”
“Pak Amran ditabrak sepeda motor.”
“Ha?!” Bu Endang tergopoh-gopoh panik memasuki rumahnya, lantas menarik napas lega begitu menyadari suaminya cuma lecet-lecet sedikit saja.
“Siapa yang nabrak Papa?” Pipo bertanya dengan wajah beringas.
“Sudah. Sudah diselesaikan secara baik-baik,” Ketua RT berkata menenangkan.
“Syukurlah,” ujar Bu Endang. “Sebab kami juga nyaris membunuh orang tadi….”
“Ha?!” Si Makmur seperti terlambung dari sofa, namun kembali terhenyak dan meringis-ringis memegangi paha kanannya.
“Tapi jelas bukan kami yang salah. Orang itu yang tiba-tiba menyelonong keluar dari jalan kecil di depan Apotek Madya. Untung Si Pipo cepat banting stir, kalau tidak mampus dia. Hanya saja…” Bu Endang jeda seketika. “Hanya saja….”
“Hanya saja apa, ha?!” Si Makmur penasaran.
“Lampu depan mobil yang sebelah kiri pecah menyenggol becak yang diparkir di trotoar….”
“Ah, ada-ada saja kalian. Mana Si Pipo. Pipoooo…,” teriak Si Makmur. Si Pipo datang mendekat. Si Makmur mengomeli Pipo sambil meringis-ringis dan memegangi paha kanannya. Si Pipo menjawab merasa tidak bersalah. Bu Endang, istri Si Makmur, tidak tinggal diam membela Si Pipo. Heboh! Orang-orang yang semula ingin memperlihatkan hati yang suci dan muka yang jernih kepada keluarga yang naas itu, secara diam-diam, ngeloyor pergi satu demi satu.
Aku sungguh jadi serba salah. Karena itu kuturuti saja langkah Ketua RT menuju gerbang pagar rumah Si Makmur. Beberapa warga yang bermaksud menengok keadaan Si Makmur tertegun dan berhenti di sana. Ketua RT cuma menggeleng-gelengkan kepala menanggapi pertanyaan maupun tatapan ingin tahu mereka. Dan, aku mungkin menyengir geli, terlebih mengenangkan cerita istriku tentang ciloteh Bu Endang.
“Yang penting keberanian, Buk Har,” kata Bu Endang pada malam menjelang Si Makmur membeli mobil. “Sebetulnya Buk Har bisa pula memperoleh apa yang dimaui. Buk Har juga kerja, kan?! Jadi gampang. Gadaikan salah satu es-ka di bank….”
Orang-orang yang masih berdiri di gerbang rumah Si Makmur dikagetkan oleh suara benda pecah-belah terbanting ke tembok. Bu Endang, istri Si Makmur, terdengar terpekik. Si Pipo berlari ke garasi dan menendang pintu mobil lalu ngacir ke warung di mana teman-temannya sesama begadang berkumpul.
Aku bertukar pandang dengan Ketua RT, kemudian, seperti telah berunding, sepakat untuk pulang ke rumah masing-masing, diikuti oleh beberapa warga yang belum lagi sempat menemui keluarga Si Makmur.***

MAYAT

ILUSTRASI
Oleh: Putu Wijaya

“Aku yang mati, kamu yang enak. Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatan saja menangis, meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa, kamu terus hidup ngakak. Kematianku sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih, menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada dan orasi-orasi yang meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keun­ tungan dari orang yang mati!”

Mayat itu mengetuk pintu sebuah media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat secara lengkap cerita dan foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua menghindar, menutupi hidungnya, mengangkat bahu dan menunjuk atasannya. “Tanya Bapak, aku kan hanya menjalankan assignment. ”

Sedang atasannya yang paling atas sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.

Akhirnya sekretaris redaksi, terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menghadapi mayat itu dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara baik-baik.

“Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia untuk meralatnya untuk kebahagiaan dan ketenangan Anda di sana,”

katanya mempersilahkan mayat itu menumpahkan semua sumpah- serapahnya. Mayat itu langsung duduk di depan komputer. Seperti bendungan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya. Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang tidak adil, seluruh ketidak- benaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata yang tajam dan berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka dan kesakitannya. Berjam-jam mayat itu mencurahkan segala tuntutannya. Komputer penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat itu dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit tengik. Moral, susila, tata krama, kepatutan, keluhuran budi apalagi kemanusiaan yang dikibar- kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka, untuk membungkus kebiadaban.

“Semuanya busuk,” erang mayat itu. Ia kemudian lebih banyak mengeram- ngeram seperti kata- kata tak mampu lagi menampung sumpah-serapahnya. Akhirnya ia menggigit kursi sampai cabik-cabik, untuk menahan lonjakan perasaannya yang tertampung oleh layar komputer

Sekretaris panik. Tetapi ketika ia mau lari mengadukan itu kepada atasannya, telepon berbunyi.

“ Biarkan saja, dia memerlukan ventilasi untuk menyalurkan emosinya. Nanti setelah kempes dia kan pergi sendiri. ”

“Tapi kursinya rusak, Pak.

Itu kan baru dibeli. Bagaimana kalau dia menghancurkan komputer. ”

“Biar saja.

Tapi suruh anak-anak siap untuk menjepret. Ini justru bagus untuk publikasi kita !” Sekretaris bengong. Mayat itu berdiri, karena mencabik kursi itu, juga tidak bisa mengurangi tegangan dadanya. Ia lalu menumbukkan kepalanya ke dinding. Sekretaris menutup matanya, lalu lari keluar. Mayat itu membentur dinding begitu kerasnya sehingga foto-foto di dinding berjatuhan. Di antaranya ada gambar garuda. Moncong garuda itu menancap di atas kepalanya. Mayat itu baru menjadi sedikit tenang. Dengan garuda yang masih bertengger di kepalanya, ia kembali ke kursi.

Di situ ia menangis tersedu-sedu. Setelah menangis tersedu-sedu nampaknya sebagian unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati dan otaknya. Ia menoleh kembali ke layar komputer dengan lebih santai. Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah namun damai.

Penjaga kantor yang tua bangka menghampirinya menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa disamber dari perempatan jalan di malam yang selarut itu. Sekaligus mengingatkan bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur. Mayat itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan apa- apa lagi. Seluruhnya mampetan pikirannya sudah tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.

Penjaga kantor itu mengerti. Tetapi sebelum pergi meninggalkan tamu eksklusif yang diwanti-wanti oleh sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa itu, ia sempat mengerling ke atas layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menikmati kepuasan mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam yang sudah lancang itu dengan mata berkilat-kilat.

“Kamu mengerti?”

“Ya, saya mengerti sekali.”

“Kamu bisa merasakan.”

“Kenapa tidak?

Jelas sekali.”

“Apa kamu menganggap semua ini neko-neko ?”

“Tidak. Itu memang benar.”

Mayat itu menjadi amat girang, menemukan untuk pertama kalinya, orang yang mampu memahami segala tuntutannya.

“Jadi kamu percaya sekarang betapa tidak adilnya semua ini ?”

“Saya percaya.”

Mayat itu mengulurkan tangannya. Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan, seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi tangan penjaga malam itu dingin seperti beku.

Mayat itu terkejut.

“Kenapa tanganmu dingin sekali?

Kamu takut ?”

“Tidak.”

“Kamu heran atau kaget karena membaca semua ini ?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa tanganmu lebih dingin dari es ?”

“Ya memang begini keadaannya?”

“Tapi kenapa?”

“Karena inilah hidup saya.”

Mayat itu terkejut. Ia curiga kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi. Paling sedikit mata- mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi ketika ia memandangi mata penjaga itu, ia hampir terpekik. Karena di kedua mata nampak ruang kosong.

“Astaga kamu tidak punya mata lagi?”

“Tidak.”

“Tapi kenapa kamu masih bisa melihat?”

“Saya harus bisa melihat meskipun tidak punya mata.”

“Kenapa?”

“Karena itu kewajiban saya.”

Mayat itu bergidik. Bulu kuduknya meremang.

“Apa lagi kewajiban kamu?”

“Semuanya!”

Mayat itu tercengang.

“Kewajiban? Kewajiban apa?

Kamu ngomong seperti seorang budak ?!”

“Ya memang.”

“Apa? Kamu budak?”

“Betul. Saya budak.”

“Budak apa? Budak siapa?”

“Budak segala- galanya. Saya budak komplit. ”

Mayat itu bingung. Dia berdiri dan memperhatikan penjaga itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu menyentuh, kemudian meraba- raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu. Tiba-tiba ia terpekik ngeri.

“Wow! Badan kamu seperti tak punya tulang.

Daging kamu bonyok !”

“Memang!”

“Bukan cuma itu, aku jadi curiga,

jangan-jangan kamu, maaf boleh aku kobok sekali lagi ?”

“Silakan.”

Mayat itu mendekat, lalu ngobok sekali badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar. Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.

“Ya Tuhan,

kamu kok sepertinya tidak punya hati dan juga tidak punya otak. ”

“Memang begitu.”

“Apa?

Kamu betul- betul tidak punya perasaan dan pikiran ?”

“Betul.”

“Edan!”

“Ya.

Jangankan perasaan dan pikiran. Apa pun saya tidak punya. Lihat kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf ya … .”

Penjaga malam itu membuka seluruh pakaiannya. Mayat itu menggigil. Orang itu memang sudah dikebiri total. Seluruh kema­ luannya, termasuk kedua biji buah ampulurnya sudah dicomot. Ia tak punya segala- galanya.

“Kamu sudah bangkrut sebangkrut- bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa kamu sudah kalah komplit. Apa kamu bukan manusia?” “Saya manusia.”

“Apa kamu sakti?”

“Tidak!”

“Lha kenapa kamu bisa hidup?”

“Ya begitulah.

Saya harus hidup, meskipun tidak punya semua itu lagi. ”

“Tidak mungkin!”

“Memang tidak mungkin, tetapi apa boleh buat, wong ini harus, kok. Ini kewajiban saya. ”

Mayat itu berpikir keras. Lalu menggeleng- gelengkan kepala­ nya.

“Siapa sih sebenarnya kamu?”

“Boleh panggil saya siapa saja, saya tidak pilih-pilih nama.

Terserah orang, suka manggil saya apa saja, silahkan, saya manut-manut saja. ”

“Itu namanya pasrah. Apa kamu orang Jawa ?”

Penjaga malam itu berpikir.

“Nah sekarang kamu berpikir!”

“Bukan begitu.

Saya memang telmi, telat mikir. ” “Coba ceritakan sedikit kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih. Pasti besar sekali karena kewajiban kamu begitu berat. Berapa?”

“Tiga puluh.”

“Tiga puluh juta?”

“Bukan tiga puluh saja.”

“Maksud kamu gaji kamu seperak satu hari ?”

“Ya.”

“Gila!

Bagaimana kamu bisa hidup hanya dengan gaji begitu ?”

“Itu juga dianggap sudah terlalu banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak saya juga harus hidup.”

Mayat itu ternganga. Ia pelan-pelan duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji seperak satu hari dengan tanggungan istri dan 10 anak bisa hidup. Pasti penjaga malam itu korupsi.

“Kamu pasti korupsi?”

“Tidak, Pak. Saya hanya jualan kertas- kertas kantor yang sudah tidak terpakai. ”

“Kalau begitu kamu ngobyek!”

“Terserah, Pak.”

“Kamu korupsi!”

“Apa itu korupsi, Pak?”

“Jelas!”

“Ya sudah.”

Mayat itu termenung. Ia lupa pada masalahnya sendiri dan mulai kagum.

Memang pada orang kecil sering muncul sifat- sifat luhur yang dahsyat.

“Kamu luar biasa,”

gumam mayat itu terpesona.

“Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu ini.”

“Memang saya sudah mati.”

“Ah! Apa?”

“Kata saya, saya sudah mati.”

“Kamu sudah mati.”

“Ya.”

“Jadi kamu ini mayat?”

“Betul sekali.”

“Mayat seperti gua ini?”

“Benar!”

“Wow! Kalau begitu kita sama dong!” teriak mayat itu kegi­ rangan karena merasa mendapat seorang teman secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan. Tetapi sekali ini, penjaga malam itu tak menyambut uluran tangannya.

“Ayo salaman, kita sama! Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain. Sedikitnya kita bisa berbagi kemalangan.

Ayo salaman !”

Penjaga malam itu menggeleng.

“Tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa?

Kamu tidak mau salaman? Ini hanya ekspresi bukan kolusi,

jangan takut, tidak akan dituntut. ”

“Tidak bisa.

Saya tidak bisa salaman.

Jangan keliru. ”

“Keliru bagaimana?”

“Saya bukan mayat seperti situ.”

“Lho tadi kamu bilang kamu mayat?”

“Betul.”

“Tetapi bukan?”

“Betul sekali.

Saya memang mayat, tetapi bukan. ”

“Kenapa bukan?”

“Karena meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan.

Tetapi di kantor ini. ”

“O kalau begitu kamu hantu?”

“Apa saya hantu?”

“Ya kamu hantu kalau begitu!”

“Ya sudah.

Boleh juga saya disebut begitu. ”

Mayat itu berpikir.

“Kamu jangan main- main. Ini bukan waktunya untuk guyonan. ”



“Tidak bisa. Saya tidak bisa salaman.

Jangan keliru. ”

“Keliru bagaimana?”

“Saya bukan mayat seperti situ.”

“Lho tadi kamu bilang kamu mayat?”

“Betul.”

“Tetapi bukan?”

“Betul sekali. Saya memang mayat, tetapi bukan. ”

“Kenapa bukan?”

“Karena meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini. ”

“O kalau begitu kamu hantu?”

“Apa saya hantu?”

“Ya kamu hantu kalau begitu!”

“Ya sudah.

Boleh juga saya disebut begitu. ”

Mayat itu berpikir.

“Kamu jangan main- main. Ini bukan waktunya untuk guyonan. ”

Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap dengan tergo­ poh-gopoh menghampiri.
“Maaf, memanggil saya, perlu sesuatu?”
Mayat itu terkejut. “O tidak, tidak, sudah cukup.
Aku tidak perlu apa-apa lagi !”

Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke tempatnya. Waktu itu mayat itu merasa malu hati. Diliriknya komputer yang penuh dengan tumpahan tuntutannya.

Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan, seperti tidak ada artinya sama sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu kembali kepada komputernya.

Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gera­ kan, ia menyentuh keybord komputer untuk menghapus semua keluh- kesahnya. Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia abadi.***