Selasa, 19 April 2011

Keluarga Makmur

KETIKA Insan dan Ibnu berlarian pulang ke rumah dan berkali-kali meneriakkan bahwa Si Makmur ditabrak sepeda motor, aku kaget bukan kepalang. Namun kekagetanku mendadak diluruhkan oleh kesadaran yang pelan-pelan melahirkan rasa sesal: tidak semua lawakan di rumah-tangga layak diketahui anak-anak.
“Memang susah sekarang,” ujar tetanggaku yang tertimpa musibah itu pada suatu kali, sewaktu bertandang ke rumahku. “Untung sejak tugas di bandara aku rajin menabung. Selain dapat mengambil rumah di sudut, aku sempat pula membeli sawah-ladang serta dua ekor kerbau di kampung. Seratus-lima-puluh emas. Bunga uang yang kudepositokan… itulah yang meringankan bebanku kini….”
Sepeninggal sang tamu aku dan istriku tertawa-tawa mengulangi ceritanya. Dan sejak saat itu, entah dorongan setan mana, aku sering mengolok-olok tetanggaku itu —tentunya tanpa sepengetahuan dia— dengan panggilan Si Makmur.
“Lekaslah Ayah ke tempat Pak Makmur,” kata Ibnu memenggal ketermanguanku.
“Hus… jangan sebut-sebut Pak Makmur lagi. Pak Amran….”
Insan dan Ibnu tercengang.
“Kenapa Ayah jadi sewot?” protes Insan. “Pak erte sudah menunggu Ayah di sana,” lanjutnya. Bergegas aku pun berganti pakaian, kemudian pergi ke rumah di pojok Blok NN itu. Rumah dengan cat merah bata yang lumayan besar, jauh lebih sehat dibanding rumah warga sekelilingnya. Tentang ini Si Makmur pernah berkata: “Aku suka warna yang kebali-balian, begitu. Lagi pula di pojokan, kan, Pak Nel. Cerah. Tersendiri. Ada kelebihan tanah sekitar tiga puluh enam meter. Berapa aku bayar dulu, ya? Kalau aku tak salah ingat 200 ribu per meter….”
***
KUDAPATI Si Makmur sedang menjelepak tersandar di pilar beton teras rumahnya sambil meringis-ringis memegangi paha kaki sebelah kanan. Beberapa orang yang menggerombolinya, tidak diacuhkannya, termasuk aku yang selama ini paling diakrabi dan senantiasa setia mendengarkan segala omongannya.
“Di Sub-Seksi Fiskal di bandara jelas enak, Pak Nel,” sesumbar Si Makmur mengomentari basa-basiku menyangkut keberhasilannya. “Berapalah gaji pegawai negeri golongan dua-de dengan masa kerja 15 tahun. Tidak cukup untuk seminggu. Insentif tunjangan habis untuk membayar cicilan hutang koperasi. Jadi mana mau aku dipindah-pindahkan lagi. Tapi kupikir takkan ada yang berani mengutak-atik apalagi menggeser posisiku. Mak Uniang, mantan sekretaris kabupaten yang kukenalkan tempo hari… ya, pamanku yang ketemu Pak Nel di rumah dulu, telah menduduki jabatan kepala biro kependudukan dan pemerintahan di kantor gubernur….”
Perlahan kudekati Si Makmur. Dia melirik sejenak, lalu kembali meringis sambil memegangi paha kanannya.
“Bagaimana?” tanyaku. “Apa mau diantar ke rumah sakit?”
“Biar nanti saja,” jawab Si Makmur. “Aku tak kuat berjalan. Ini Si Pipo kok lama sekali pulangnya, ya,” gerutunya entah ditujukan kepada siapa.
Ketua RT menyarankan agar Si Makmur segera dibawa masuk ke dalam rumah. Dua orang warga berusaha mengangkat serta memapah Si Makmur yang tetap meringis-ringis kendati sudah tidak hendak membantah lagi.
Si Makmur tertabrak saat mematut-matut rumahnya yang baru selesai ditingkat-duakan. Pengendara sepeda motor yang kurang awas, sewaktu membelok, langsung menghantam tungkai tubuh Si Makmur yang kian tambun.
Akhir-akhir ini, sore-sore, Si Makmur memang sering tampak berkacak pinggang di jalanan kompleks sembari memandangi rumahnya.
“Sudahlah, Pak,” bercanda aku menyapa Si Makmur saat berpapasan di muka rumahnya, petang dua hari yang lalu. “Sudah mantap,” tukukku, senyum dan ikut memandangi rumahnya yang semakin rancak. Tapi senyum dan candaku tidak digubrisnya. Dengan mimik serius dia menepi, dan sambil bersandar di pagar besi pekarangan rumahnya dia bercerita panjang lebar tentang proses renovasi rumah itu. “Jadi istriku yang mendesak agar rumah ini segera ditingkat-duakan. Kalau aku sih ingin membeli tanah yang lebih luas saja, biar leluasa membangun di sana…,” katanya mengakhiri pembicaraan.
Masih bersemangat rupanya Si Makmur, pikirku. Padahal, sepengetahuan orang-orang, warga kompleks perumahan di mana kami bermukim, sudah cukup lama dia memelihara kesenangan menutup diri, dan sangat jarang keluar rumah sepulang dari kantor. Bahkan, dengan berbagai alasan, kegiatan-kegiatan warga di RT kami selalu dia hindari.
Semula, alasan-alasan Si Makmur tentu saja mengundang simpati dan keprihatinan, karena sebelumnya dia termasuk salah seorang pengurus RT yang aktif. Peranannya selaku Ketua Bidang Sosial membuat dia banyak berhubungan sekaligus sangat dihormati warga. Namun lama-kelamaan orang-orang mulai curiga, mengingat tingkah laku Si Makmur yang ada kalanya tidak masuk akal.
“Sekujur badan terasa lemas tak bertenaga,” kata Si Makmur tatkala aku beserta sejumlah pengurus RT dan warga lainnya datang membesuk. “Seakan tiada bertulang….”
“Makan bagaimana?” tanya Ramli.
“Tak bernafsu saja rasanya….”
“Tapi semakin gemuk kami lihat,” celetuk Azamril bernada menggoda. “Kayak bos….”
“Ah, ini gemuk karena penyakit barangkali.”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Pak Amran,” nasihat Ketua RT.
“Nanti benar-benar serius sakitnya,” tukas Azamril. Sekilas, aku menangkap mimik keterkejutan pada air muka Si Makmur.
“Seperti Bapak-bapak lihat, dalam sepuluh hari belakangan aku sudah tidak nyetir sendiri,” elak Si Makmur. “Syukur ada Si Pipo yang mengantarkan….”
“Ha?! Hati-hati, Pak Amran, Si Pipo belum punya SIM, kan?” kata Azamril.
“Itulah. Tapi dasar anak sekarang.” Si Makmur tampak bangga membela diri. “Meski baru kelas dua es-em-pe, Si Pipo telah mahir mengendarai mobil.”
***
DERU Toyota Avanza berhenti di garasi. Pipo maupun Bu Endang, istri Si Makmur, terheran-heran menyaksikan orang-orang yang seolah-olah tengah menantikan kehadiran mereka.
“Ada apa?”
“Pak Amran ditabrak sepeda motor.”
“Ha?!” Bu Endang tergopoh-gopoh panik memasuki rumahnya, lantas menarik napas lega begitu menyadari suaminya cuma lecet-lecet sedikit saja.
“Siapa yang nabrak Papa?” Pipo bertanya dengan wajah beringas.
“Sudah. Sudah diselesaikan secara baik-baik,” Ketua RT berkata menenangkan.
“Syukurlah,” ujar Bu Endang. “Sebab kami juga nyaris membunuh orang tadi….”
“Ha?!” Si Makmur seperti terlambung dari sofa, namun kembali terhenyak dan meringis-ringis memegangi paha kanannya.
“Tapi jelas bukan kami yang salah. Orang itu yang tiba-tiba menyelonong keluar dari jalan kecil di depan Apotek Madya. Untung Si Pipo cepat banting stir, kalau tidak mampus dia. Hanya saja…” Bu Endang jeda seketika. “Hanya saja….”
“Hanya saja apa, ha?!” Si Makmur penasaran.
“Lampu depan mobil yang sebelah kiri pecah menyenggol becak yang diparkir di trotoar….”
“Ah, ada-ada saja kalian. Mana Si Pipo. Pipoooo…,” teriak Si Makmur. Si Pipo datang mendekat. Si Makmur mengomeli Pipo sambil meringis-ringis dan memegangi paha kanannya. Si Pipo menjawab merasa tidak bersalah. Bu Endang, istri Si Makmur, tidak tinggal diam membela Si Pipo. Heboh! Orang-orang yang semula ingin memperlihatkan hati yang suci dan muka yang jernih kepada keluarga yang naas itu, secara diam-diam, ngeloyor pergi satu demi satu.
Aku sungguh jadi serba salah. Karena itu kuturuti saja langkah Ketua RT menuju gerbang pagar rumah Si Makmur. Beberapa warga yang bermaksud menengok keadaan Si Makmur tertegun dan berhenti di sana. Ketua RT cuma menggeleng-gelengkan kepala menanggapi pertanyaan maupun tatapan ingin tahu mereka. Dan, aku mungkin menyengir geli, terlebih mengenangkan cerita istriku tentang ciloteh Bu Endang.
“Yang penting keberanian, Buk Har,” kata Bu Endang pada malam menjelang Si Makmur membeli mobil. “Sebetulnya Buk Har bisa pula memperoleh apa yang dimaui. Buk Har juga kerja, kan?! Jadi gampang. Gadaikan salah satu es-ka di bank….”
Orang-orang yang masih berdiri di gerbang rumah Si Makmur dikagetkan oleh suara benda pecah-belah terbanting ke tembok. Bu Endang, istri Si Makmur, terdengar terpekik. Si Pipo berlari ke garasi dan menendang pintu mobil lalu ngacir ke warung di mana teman-temannya sesama begadang berkumpul.
Aku bertukar pandang dengan Ketua RT, kemudian, seperti telah berunding, sepakat untuk pulang ke rumah masing-masing, diikuti oleh beberapa warga yang belum lagi sempat menemui keluarga Si Makmur.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar